Dalam era digital yang terus berkembang, memahami perbedaan antara legal hacking dan illegal hacking menjadi penting, khususnya dalam konteks hukum siber di Indonesia. Legal hacking atau ethical hacking dilakukan dengan persetujuan dari pemilik sistem, bertujuan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki celah keamanan sebelum disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Ethical hacker bekerja berdasarkan kontrak, kode etik, dan dalam batas hukum yang ditetapkan, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diperbarui dalam UU Nomor 19 Tahun 2016.
Sebaliknya, illegal hacking melibatkan akses ke sistem atau data tanpa izin, yang dalam hukum Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana berat, termasuk denda besar dan hukuman penjara. Aktivitas seperti peretasan, pencurian data, sabotase jaringan, dan penyebaran malware diklasifikasikan sebagai kejahatan siber. Meskipun motivasi illegal hacker dapat bervariasi dari keuntungan finansial hingga aksi protes politik (hacktivism), tetap saja tindakan ini bertentangan dengan hukum dan dapat merugikan banyak pihak.
Dalam praktik ethical hacking di Indonesia, penting bagi para profesional keamanan siber untuk selalu mendokumentasikan izin tertulis, menentukan ruang lingkup pengujian, serta menjaga etika profesional saat berinteraksi dengan sistem klien. Pemerintah Indonesia juga mendorong sertifikasi dan pelatihan untuk membentuk komunitas ethical hacker yang kompeten dan taat hukum. Memahami batas antara legal dan illegal hacking membantu melindungi diri dari potensi tuntutan hukum serta membangun karier yang kredibel di dunia keamanan siber.